Monday, 25th August 2025
by Admin
Imuners udah denger soal kejadian luar biasa (KLB) campak di Sumenep? Kejadian ini mengingatkan kita lagi soal pentingnya imunisasi.
Campak bukan penyakit baru, program imunisasi dasar campak telah dimulai di Indonesia sejak 1982 dan menjadi imunisasi dasar campak dan rubella sejak 2017, tapi hingga hari ini masih menjadi salah satu ancaman serius di Indonesia, terutama bagi anak-anak.
Penyakit ini dikenal sebagai salah satu penyakit yang paling menular di dunia, jauh lebih menular dibanding flu atau cacar air tapi dapat dicegah dengan efektif lewat imunisasi.
Kenapa bisa terjadi kejadian luar biasa (KLB) campak di Sumenep? Apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah hal ini terulang kembali? Simak pembahasan selengkapnya berikut.
Siapa sangka campak menjadi wabah yang kembali muncul di salah satu wilayah di Indonesia tepatnya di Sumenep, Madura.
Sejak awal tahun 2025, laporan kasus campak terus meningkat hingga akhirnya pemerintah menetapkan hal ini sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).
Per Agustus 2025, lebih dari dua ribu anak dilaporkan terinfeksi campak dan tujuh belas di antaranya meninggal dunia.
Sebagian besar anak yang meninggal ternyata tidak pernah mendapatkan imunisasi, dan sebagian di antaranya sudah mendapatkan imunisasi tapi dosisnya belum lengkap.
Angka ini bukan hanya statistic semata, hal ini menjadi pengingat bahwa imunisasi sangat penting untuk mencegah kehilangan nyawa.
Penetapan KLB membuat pemerintah bergerak cepat. Kementerian Kesehatan bersama Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Kabupaten Sumenep meluncurkan program imunisasi massal atau Outbreak Response Immunization (ORI).
Program ini dimulai pada 25 Agustus 2025 dan direncanakan berlangsung selama tiga minggu penuh hingga 14 September 2025.
Targetnya hampir 80 ribu anak usia sembilan bulan hingga enam tahun. Anak-anak ini akan diimunisasi di 26 puskesmas dan tiga rumah sakit, baik di daratan maupun kepulauan.
Stok vaksin yang tersedia mencapai 18 ribu vial, dan ini diperkirakan cukup untuk lebih dari 80 ribu dosis sesuai dengan target yang sudah ditetapkan.
Dengan cakupan minimal 95 persen, diharapkan terbentuk kekebalan kelompok sehingga rantai penularan campak bisa segera diputus.
Respon cepat dari pemerintah untuk melakukan imunisasi masal terbilang tepat karena karakteristik dari penyakit campak yang tergolong berbahaya, terutama bagi anak-anak.
Campak disebabkan oleh virus yang sangat mudah menyebar. Gejalanya diawali dengan demam tinggi, pilek, batuk, mata merah, serta bercak putih kecil di mulut.
Setelah gejala ini, akan muncul ruam merah dari wajah hingga ke seluruh tubuh. Pada sebagian kasus, campak bisa sembuh, tetapi komplikasi yang ditimbulkan seringkali berbahaya.
Pneumonia, diare parah, infeksi telinga, hingga radang otak adalah komplikasi yang mungkin timbul dari serangan campak dan bersifat sangat berbahaya.
Di program imunisasi masal ini, pemerintah menggunakan vaksin MR (Measles-Rubella) yang dinilai efektif dalam memutus mata rantai penyebaran campak sekaligus rubella.
Seperti namanya, vaksin ini tidak hanya melindungi dari campak, tetapi juga rubella atau campak Jerman. Dengan satu suntikan vaksin MR, dua penyakit ini bisa dicegah sekaligus.
Vaksin MR yang digunakan dalam program imunisasi ini bisa diberikan mulai usia sembilan bulan hingga untuk anak yang berusia di bawah lima belas tahun.
Efektivitas dari vaksin ini tergolong tinggi, bahkan hingga 97 persen bila diberikan dua kali.
Selain efektif, vaksin ini juga tergolong aman, hanya menimbulkan efek samping ringan seperti demam atau nyeri di tempat suntikan.
Dalam program ORI, semua anak dalam rentang usia sasaran akan melakukan imunisasi MR tanpa melihat riwayat imunisasi sebelumnya. Jadi, meskipun sudah pernah diimunisasi, anak tetap akan disuntik lagi.
Hal ini penting untuk memastikan tidak ada yang terlewat, karena jika hanya satu anak tidak terlindungi, dia bisa menjadi pintu masuk bagi virus untuk menyebar.
Mungkin banyak yang bertanya-tanya kenapa masih banyak anak yang belum mendapatkan imunisasi di Sumenep?
Faktor geografis menjadi salah satu penyebab kenapa program imunisasi belum merata di wilayah tersebut.
Kabupaten Sumenep terdiri dari banyak pulau, sehingga akses ke layanan kesehatan terkadang sulit untuk ditempuh.
Selain itu, masih ada keterbatasan informasi dan kepercayaan yang salah tentang imunisasi. Hoaks yang beredar membuat sebagian orang tua ragu dan memilih untuk tidak melakukan imunisasi pada anak mereka.
Pandemi COVID-19 juga memperburuk keadaan ini karena jadwal imunisasi rutin sempat tertunda.
Gabungan beberapa faktor inilah yang membuat cakupan imunisasi di Sumenep sempat tidak merata.
Kasus di Sumenep ini menunjukkan bahwa tantangan untuk program imunisasi yang rata dan menyeluruh masih ada.
WHO menargetkan eliminasi campak dan rubella di Asia Tenggara pada 2026, dan untuk mencapai hal ini, cakupan dua dosis vaksin harus mencapai 95 persen di semua wilayah.
Selain imunisasi rutin, WHO juga mendorong kegiatan tambahan seperti Supplementary Immunization Activities (SIA) untuk menjangkau anak-anak yang terlewat diimunisasi.
Selain itu, pengawasan juga diperkuat agar wabah bisa cepat terdeteksi.
Sejarah imunisasi campak memberi bukti nyata bahwa penyakit menular berbahaya dapat dicegah dengan efektif.
Program imunisasi campak pertama kali dilakukan pada tahun 1963 dan sejak saat itu angka kematian akibat campak turun drastis.
Dari lebih dua juta jiwa yang meninggal tiap tahun di era 1980-an, kini tinggal sekitar 128 ribu pada 2021.
Penurunan besar ini adalah bukti bahwa program imunisasi bisa menyelamatkan jutaan nyawa.
Dari kasus luar biasa di wilayah Sumenep ini ada beberapa pelajaran yang bisa kita tarik.
Imunisasi bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan mendasar. Satu anak yang tidak diimunisasi bisa menjadi titik lemah yang membahayakan banyak orang.
Karena itu, tanggung jawab imunisasi bukan hanya pada pemerintah dan tenaga kesehatan, tetapi juga orang tua, guru, tokoh masyarakat, hingga tokoh agama di wilayah tersebut.
Semua pihak memiliki peran penting dalam menyebarkan informasi yang benar dan meyakinkan masyarakat agar tidak ragu terhadap program imunisasi.
Program ORI di Sumenep adalah langkah cepat yang sangat penting, tetapi perang melawan penyakit menular berbahaya tidak berhenti di situ.
Imunisasi rutin harus kembali berjalan normal, edukasi masyarakat harus lebih gencar, dan layanan kesehatan di pulau-pulau kecil harus diperhatikan.
Dengan cara ini, KLB seperti di Sumenep bisa diharapkan tidak terulang kembali dan lebih banyak anak Indonesia yang mendapatkan perlindungan menyeluruh dari penyakit menular berbahaya.
Sumber