Monday, 1st September 2025
by Admin
Imuners pasti udah tahu kalau imunisasi itu penting banget buat menjaga kesehatan dari ancaman penyakit berbahaya, tapi ternyata masih banyak anak yang belum diimunisasi satu kali pun.
Anak-anak yang belum pernah melakukan imunisasi sama sekali di dunia kesehatan dikenal dengan istilah “zero-dose”, dan di Indonesia jumlahnya tergolong besar.
Kenapa anak-anak Indonesia masih banyak yang belum mendapatkan imunisasi sama sekali? Apa yang bisa dilakukan untuk menanggulangi kondisi ini? Yuk, simak pembahasannya berikut ini!
Zero-dose children adalah istilah yang merujuk pada anak-anak yang tidak pernah mendapat satu pun imunisasi dasar, pada tahun pertama kehidupan mereka.
Meski terdengar sederhana, masalah ini memiliki dampak yang besar bagi anak-anak tersebut maupun bagi lingkungan di mana ia tinggal.
Potensi masalah yang timbul bukan hanya soal kesehatan, tetapi juga menyangkut masalah ekonomi dan masa depan si anak secara keseluruhan nantinya.
Anak-anak yang tidak mendapatkan imunisasi sama sekali sering kali tinggal di wilayah terpencil, atau bahkan tidak tercatat di sistem kesehatan negara.
Hal inilah yang menyebabkan program imunisasi sulit sekali untuk menjangkau mereka.
Menurut UNICEF dan laporan Antara News pada Agustus 2025, Indonesia menempati peringkat keenam dunia dalam jumlah anak zero-dose dengan total 1,36 juta anak.
Angka ini menunjukkan bahwa Indonesia masih harus lebih gencar lagi dalam menjalankan program imunisasi.
Sebelum pandemi COVID-19, cakupan imunisasi di Indonesia memang tidak sempurna, tetapi relatif stabil.
Pada tahun 2019, hanya sekitar sepuluh persen anak yang tidak melakukan imunisasi DTP, tetapi ketika pandemi melanda situasinya berubah drastis.
Fasilitas kesehatan kewalahan menangani pasien COVID-19, layanan posyandu sempat berhenti, dan banyak orang tua yang takut untuk membawa anak mereka ke fasilitas kesehatan untuk imunisasi.
Akibatnya, jumlah anak tanpa imunisasi melonjak menjadi 26 persen pada 2021.
Dengan meningkatnya jumlah anak yang tidak mendapatkan imunisasi dasar, hal ini berimbas langsung pada meningkatnya resiko penyakit menular yang sebelumnya hampir terkendali.
Salah satu contohnya adalah ketika wabah penyakit campak yang sebenarnya sudah sangat jarang terdengar kembali muncul.
Pada tahun 2025, terjadi wabah campak di 42 kabupaten atau kota di 14 provinsi, yang mengharuskan pemerintah menggelar imunisasi darurat atau Outbreak Response Immunization (ORI).
Fenomena ini menjadi peringatan keras bahwa cakupan imunisasi tidak bisa dianggap remeh.
WHO mencatat bahwa imunisasi mampu mencegah hingga lima juta kematian setiap tahunnya di seluruh dunia.
Anak-anak yang mendapat imunisasi tidak hanya terlindungi dari penyakit berbahaya seperti campak, polio, dan difteri, tetapi juga berperan penting dalam menciptakan kekebalan kelompok untuk melindungi orang-orang di sekitar mereka.
Sebaliknya, anak-anak yang tidak diimunisasi tidak hanya beresiko jatuh sakit, tetapi juga bisa menjadi titik penyebaran penyakit ke komunitas tempat mereka tinggal.
Terlebih lagi, anak-anak zero-dose sering kali tinggal di lingkungan dengan akses kesehatan rendah, sehingga mereka lebih rentan terhadap komplikasi bahkan kematian akibat penyakit yang sebenarnya dapat dicegah.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan tingginya angka zero-dose di Indonesia.
Pandemi COVID-19 adalah salah satu pemicu terbesar naiknya angka zero-dose karena membuat layanan imunisasi terhenti atau tertunda, tapi masalah ini sebenarnya sudah ada jauh sebelum pandemi.
Akses kesehatan di Indonesia bisa dibilang belum merata, dan ini menjadi salah satu alasan kenapa beberapa kelompok sulit dijangkau program imunisasi.
Indonesia adalah negara kepulauan dengan ribuan pulau, dan hal ini membuat banyak keluarga harus menempuh perjalanan panjang untuk bisa mencapai fasilitas kesehatan.
Bagi keluarga kurang mampu, biaya transportasi dan waktu menjadi kendala besar untuk mereka dalam mengikuti program imunisasi.
Data UNICEF menunjukkan mayoritas anak zero-dose berasal dari keluarga dengan pendapatan di bawah 1,90 dolar AS per hari.
Keluarga dengan kondisi ekonomi sulit seringkali lebih fokus mencari nafkah harian daripada memastikan anaknya mendapatkan imunisasi tepat waktu.
Selain itu, masih banyak orang tua yang belum memahami pentingnya imunisasi.
Sebagian orang tua bahkan masih percaya pada mitos dan hoaks tentang imunisasi, misalnya soal efek samping yang dibesar-besarkan atau isu agama yang tidak berdasar.
Di banyak tempat, kurangnya edukasi dan komunikasi membuat orang tua ragu-ragu membawa anaknya untuk diimunisasi.
Jika masalah zero-dose ini terus dibiarkan, dampaknya akan sangat besar baik untuk anak tersebut ataupun untuk kondisi sosial ekonomi secara umum.
Penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi berpotensi untuk kembali menghantui masyarakat.
Wabah campak di Sumenep adalah salah satu contoh nyata yang sudah terjadi, dan penyakit lain seperti polio atau difteri yang pernah hampir hilang pun bisa kembali muncul.
Selain ancaman kesehatan, tingginya angka zero-dose juga dapat meningkatkan angka kematian bayi dan balita, menambah beban biaya kesehatan negara, dan memperlebar kesenjangan sosial.
Anak-anak dari keluarga sosial ekonomi rendah yang tidak mendapatkan imunisasi akan semakin tertinggal dari segi kesehatan, pendidikan, dan peluang hidup layak di masa depan.
Meski tantangannya berat, pemerintah Indonesia telah melakukan banyak langkah untuk memulihkan kepercayaan masyarakat dan memperbaiki cakupan imunisasi.
Salah satu program besar adalah Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN) pada 2022.
Kampanye ini berhasil menjangkau jutaan anak di seluruh Indonesia: 26,5 juta anak mendapatkan imunisasi campak-rubela, 1,3 juta anak mendapatkan imunisasi polio, dan dua juta anak mendapatkan imunisasi DTP-HB-Hib.
Berkat kampanye ini, cakupan imunisasi lengkap nasional naik menjadi 94,6 persen, melampaui target 94,1 persen.
Selain itu, pemerintah juga menambah tiga imunisasi baru ke dalam program imunisasi nasional yakni imunisasi Rotavirus untuk mencegah diare, imunisasi PCV untuk mencegah pneumonia, dan imunisasi HPV untuk mencegah kanker serviks.
Pemerintah juga mulai mendigitalisasi pencatatan imunisasi dengan aplikasi Sehat IndonesiaKu atau ASIK.
Dengan sistem ini, data anak dicatat secara digital, dan orang tua bisa mendapat pengingat jadwal imunisasi melalui aplikasi.
Masalah zero-dose pada akhirnya adalah tanggungjawab bersama, masing-masing pihak memiliki peran tersendiri dalam meningkatkan cakupan imunisasi.
Menambah cakupan imunisasi dan mengurangi jumlah anak zero-dose sama artinya dengan memastikan masa depan yang cemerlang untuk mereka.
Setiap anak Indonesia berhak tumbuh sehat, belajar dengan optimal, dan menjadi generasi masa depan yang kuat.
Sumber